Astrowisata Berbasis Homestay untuk Pulau Sabu

Tim penulis :

Chatief Kunjaya, Aprilia, Zadrach L. Dupe, Regina Indah Syalaisha, Arti Flinkerbusch, Surya Novrian, Naufal Farras Nurindra

Penginapan Homestay Lebih Baik untuk Astrowisata Alam

Pulau Sabu, sebuah pulau kecil yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur, menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya digarap: astrowisata. Dengan kondisi geografis yang mendukung, iklim yang relatif kering sepanjang tahun, serta tingkat polusi cahaya yang sangat rendah, Pulau Sabu dapat menjadi salah satu calon destinasi astrowisata terbaik, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara.

Aktivitas-aktivitas astrowisata seperti mengamati bintang (stargazing), bersantai di bawah cahaya bintang (starbathing), berburu foto-foto benda langit yang indah (astrophotography) dan mengamati fenomena astronomi lainnya semakin diminati oleh wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Dalam hal ini, Pulau Sabu memiliki keunggulan yang luar biasa. Di tengah maraknya polusi cahaya yang mengurangi kualitas keindahan langit di berbagai daerah, Pulau Sabu masih mempertahankan langit malam yang bersih, jernih, dan gelap, menjadikannya surga bagi para pencinta astronomi dan pengamat langit malam.

Salah satu daya tarik utama Pulau Sabu adalah jumlah hari cerah yang sangat tinggi. Berdasarkan pengamatan cuaca dan data satelit, pulau ini termasuk wilayah dengan durasi cerah terbanyak di Indonesia. Hal ini menjadikannya ideal sebagai lokasi pengamatan langit malam, karena langit yang cerah tanpa awan merupakan syarat utama bagi kegiatan astrowisata.

Selain itu, Pulau Sabu juga masih minim polusi cahaya. Di era modern seperti sekarang ini, polusi cahaya menjadi ancaman serius bagi keindahan langit malam. Cahaya yang berlebihan dari lampu-lampu jalan, gedung, dan fasilitas umum lainnya sering kali "menenggelamkan" cahaya bintang, membuat langit malam tampak terang namun kosong dari bintang. Beruntung, Pulau Sabu masih tergolong alami, jauh dari hiruk-pikuk dan pencahayaan kota besar. Kondisi ini sangat berharga dan perlu dijaga.

Namun, ironi dapat terjadi. Justru karena potensi alamnya yang menarik, semakin banyak wisatawan akan berdatangan. Pertumbuhan jumlah wisatawan akan mendorong pembangunan infrastruktur, termasuk pencahayaan, yang jika tidak diatur dengan bijak, dapat menyebabkan meningkatnya polusi cahaya. Maka dari itu, strategi pengembangan astrowisata harus dirancang secara berkelanjutan dan partisipatif, melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama.

Masyarakat Sebagai Penjaga Langit

Kunci keberhasilan pengembangan astrowisata di Pulau Sabu terletak pada masyarakat lokal. Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga kualitas lingkungan, termasuk langit malam yang gelap. Namun, untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat, diperlukan insentif ekonomi yang nyata. Masyarakat tentu akan lebih termotivasi untuk menjaga kelestarian langit malam jika mereka merasakan langsung manfaat ekonominya.

Salah satu cara terbaik untuk melibatkan masyarakat adalah dengan mendorong mereka menyediakan homestay bagi para wisatawan. Homestay tidak hanya menjadi sumber penghasilan tambahan, tetapi juga mempererat interaksi antara wisatawan dan warga lokal. Di dalam homestay, wisatawan dapat merasakan kehidupan sehari-hari masyarakat Sabu, sementara masyarakat memiliki kesempatan untuk berbagi cerita, budaya, dan tentunya, langit malam mereka yang memesona.

Lebih dari sekadar tempat menginap, homestay juga dapat menjadi pusat kegiatan astrowisata. Tuan rumah dapat menyediakan fasilitas sederhana seperti teras dengan kursi berbaring, teleskop kecil, atau bahkan hanya tempat yang tenang dan gelap untuk menikmati langit. Mereka juga dapat menawarkan paket-paket wisata khusus seperti:

  • Starbathing: pengalaman relaksasi di malam hari di bawah langit bertabur bintang, mungkin sambil mendengarkan cerita rakyat atau musik tradisional.
  • Stargazing Tour: tur malam hari yang dipandu oleh warga lokal yang telah dibekali pelatihan dasar astronomi.
  • Workshop Fotografi Langit: kolaborasi dengan fotografer profesional yang mengajak wisatawan memotret galaksi Bima Sakti dan konstelasi.

Dengan cara ini, masyarakat menjadi pelaku utama sekaligus penerima manfaat dari pariwisata, dan mereka akan merasa berkepentingan untuk menjaga langit tetap gelap dan bebas dari polusi cahaya.

Polusi cahaya adalah bentuk pencemaran lingkungan yang sering kali luput dari perhatian. Cahaya yang tidak diarahkan dengan benar dapat tersebar ke langit dan merusak pemandangan astronomi. Tidak hanya itu, polusi cahaya juga dapat mengganggu ekosistem malam, termasuk perilaku hewan-hewan nokturnal yang sensitif terhadap cahaya buatan.

Tanpa pengendalian yang tepat, meningkatnya pembangunan, termasuk pemasangan lampu-lampu penerangan jalan dan fasilitas umum, dapat mempercepat degradasi langit malam Pulau Sabu. Jika hal ini terjadi, keunikan astrowisata yang menjadi daya tarik utama bisa hilang. Wisatawan yang datang untuk melihat bintang akan kecewa dan berhenti berkunjung. Akibatnya, masyarakat lokal pun kehilangan potensi pendapatan.

Oleh karena itu, pencegahan polusi cahaya menjadi aspek penting dalam pembangunan wisata langit di Pulau Sabu. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan oleh individu atau kelompok kecil saja. Diperlukan upaya kolektif dan kesadaran bersama.

Strategi Pencegahan Polusi Cahaya

Prinsip dasar pencegahan polusi cahaya sebenarnya sederhana, yaitu meminimalkan cahaya buatan manusia yang terpancar ke langit. Salah satu cara paling efektif dalam mencegah polusi cahaya adalah penggunaan tudung lampu (lampu yang diarahkan ke bawah, tidak menyinari langit). Desain pencahayaan yang ramah langit atau disebut juga dark-sky friendly lighting telah terbukti berhasil di banyak tempat di dunia yang mengembangkan astrowisata. Contoh lain aksi pencegahan polusi cahaya adalah penggunaan gorden yang kedap cahaya, sehingga di dalam rumah atau gedung suasana bisa terang benderang namun cahaya itu tidak terpancar ke luar.

Pemerintah daerah dapat mendorong penggunaan jenis pencahayaan ini melalui edukasi dan regulasi. Pelatihan kepada masyarakat mengenai dampak polusi cahaya serta cara-cara sederhana untuk menguranginya sangat penting. Misalnya, memasang lampu dengan sensor gerak, menggunakan cahaya berwarna kuning yang tidak menyilaukan, atau menyalakan lampu hanya ketika diperlukan.

Lebih jauh lagi, diperlukan peraturan resmi dari pemerintah Kabupaten Sabu Raijua yang melindungi langit malam dari polusi cahaya. Peraturan ini bisa mencakup zonasi pencahayaan, batasan tingkat kecerahan lampu, larangan lampu sorot ke langit, dan insentif bagi rumah tangga atau pengusaha yang menerapkan pencahayaan ramah langit.

Menuju Ekowisata Langit Malam yang Berkelanjutan

Ketika wisatawan hendak menikmati kegiatan astrowisata dibutuhkan tempat menginap. Dalam konteks pengembangan wisata langit malam, jenis penginapan memiliki dampak yang signifikan terhadap kelestarian langit malam. Homestay jauh lebih ideal dibandingkan hotel dalam hal ini. Hotel, terutama jika beroperasi dalam skala besar, cenderung menggunakan pencahayaan yang kuat dan berlebihan untuk kepentingan keamanan, estetika, dan promosi. Lampu-lampu ini, jika tidak diatur dengan baik, dapat meningkatkan tingkat polusi cahaya secara signifikan di sekitarnya.

Selain itu, hotel besar cenderung terpusat di satu lokasi, biasanya di dekat pusat kota atau area dengan akses transportasi yang baik. Maka dari itu, sebaiknya pembangunan hotel dibatasi hanya di pusat kota atau wilayah administratif Kabupaten, tempat kantor-kantor pemerintahan berada. Sementara itu, di luar wilayah tersebut – terutama di desa-desa dengan pemandangan langit yang sangat indah – sebaiknya hanya diizinkan penginapan berbasis homestay. Dengan demikian, masyarakat desa bisa menjadi pihak yang paling diuntungkan dari arus wisatawan yang datang, dan sekaligus menjadi penjaga langit malam.

Pengembangan astrowisata yang berbasis homestay tidak hanya berdampak positif terhadap ekonomi lokal, tetapi juga mendorong pelestarian lingkungan. Ketika masyarakat mendapatkan penghasilan dari keindahan langit malam, maka mereka akan memiliki alasan kuat untuk mempertahankannya. Model ini sejalan dengan prinsip ekowisata: pariwisata yang bertanggung jawab terhadap alam dan budaya lokal, serta memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat.

Untuk itu, perlu ada sinergi antara berbagai pihak:

  1. Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua perlu menyusun dan menerapkan kebijakan perlindungan langit malam serta mendukung infrastruktur dasar.
  2. Lembaga pendidikan dan astronomi dapat membantu memberikan pelatihan dan edukasi kepada masyarakat mengenai dasar-dasar astronomi dan tata cara pengamatan langit.
  3. Pelaku wisata dan komunitas lokal harus menjadi mitra aktif penerima manfaat terbesar dalam menjalankan program-program astrowisata dan pelestarian lingkungan malam.
  4. Wisatawan juga perlu diedukasi untuk tidak membawa pencahayaan berlebihan dan menghormati aturan lokal.

Pelatihan homestay di desa Loborai

Pantai Rae Mea di desa Loborai, kecamatan Sabu Timur merupakan pantai yang indah, dengan pasirnya yang lembut, pantainya berpadang lamun yang landai hingga jauh ke tengah laut. Saat laut surut wisatawan dapat berjalan-jalan di air dangkal diantara padang lamun, karang pasir, terumbu dan pertanian rumput laut  hingga jauh ke tengah laut. Hingga perbatasan daerah dangkal dan dalam yang ditandai dengan pecahan ombak, tinggi muka air laut hanya antara selutut hingga sepinggang.

Pada saat laut pasang, daerah dangkal menjadi dalam dan jangkauan ombak mencapai pantai tapi dibatasi oleh tebing memanjang sepanjang pantai. Tebing itu dinamakan Tebbi Rae Mea. Pada pagi hari, wisatawan juga bisa menyaksikan keindahan matahari terbit, karena garis pantai Rae Mea menghadap ke Timur. Di kala purnama, setelah magrib, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya Bulan di cakrawala, perbatasan antara laut dan langit. Jika hari tanpa awan sama sekali pemandangan itu menjadi sangat eksotik dan romantis, itu sebabnya jika ada penginapan di pantai Rae Mea, akan banyak wisatawan yang beminat menginap.

Di pantai Rae Mea, ada rumah bantuan dari Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) tahun 2024 yang belum dimanfaatkan karena ketiadaan aliran listrik PLN dan beberapa perlengkapan pendukung lainnya. Berdasarkan pemikiran bahwa rumah itu dapat dimanfaatkan untuk penginapan bagi wisatawan dan bahwa homestay berperan penting sebagai pendukung wisata langit malam, dilaksanakanlah pelatihan penyelenggaraan homestay disana. Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 29 April hingga 1 Mei 2025.

Pelatihan diberikan kepada kelompok sadar wisata (pokdarwis), personil Badan Usaha Milik Desa dan aparat desa Loborai, langsung menggunakan rumah bantuan tersebut sebagai tempat praktek. Berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ditemukan pada saat pelatihan langsung didiskusikan dengan peserta agar dapat segera dilakukan upaya-upaya perbaikan.

Pada tanggal 7-10 Juli 2025 penulis kembali ke desa Loborai untuk survei program lain di Kabupaten Sabu Raijua. Dalam kesempatan itu digelar diskusi dengan aparat desa, pokdarwis dan anggota BUMDES, sekaligus evaluasi hasil pelatihan bulan Mei sebelumnya. Dari diskusi tersebut didapatkan informasi dari aparat desa bahwa setelah pelatihan pada bulan April sebelumnya itu, telah dilakukan berbagai perbaikan sesuai dengan saran-saran yang diberikan tim ITB. Ternyata sekarang, setiap minggu selalu ada wisatawan yang menyewa rumah homestay tersebut, terutama pada sekitar akhir pekan. Dengan demikian pelatihan homestay pada bulan April dan Mei 2025 telah memberi dampak positif menggerakkan usaha Badan Usaha Milik Desa Loborai dan bantuan dari Kemendes PDT telah termanfaatkan untuk kemajuan desa Loborai.

Pengalaman ini mengindikasikan bahwa desa-desa dapat memiliki usaha yang berkelanjutan melalui Badan Usaha Milik Desa dan Koperasi dengan memanfaatkan potensi setempat. Akan tetapi kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan entrepreneurship mengisyaratkan pentingnya pembinaan, pelatihan dan pendampingan di daerah-daerah yang masih tertinggal. Pemerintah telah meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih, dapat diperkirakan bahwa ekonomi desa akan dapat terangkat lebih maju jika koperasi tersebut berjalan dengan baik. Untuk dapat berjalan dengan baik akan diperlukan banyak kegiatan-kegiatan pelatihan dan pendampingan, terutama di desa-desa yang masih tertinggal seperti di pulau Sabu.

Penutup

Pulau Sabu memiliki peluang emas untuk menjadi destinasi unggulan astrowisata Indonesia. Dengan langit yang masih gelap dan jernih, serta potensi geologi, bahari dan budaya lokal yang kaya, pulau ini dapat memikat wisatawan dari dalam dan luar negeri. Namun, agar keindahan ini tetap lestari, perlu ada kesadaran kolektif untuk menjaga langit malam dari polusi cahaya.

Homestay menjadi solusi ideal yang tidak hanya menjawab kebutuhan wisatawan, tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Dengan mengembangkan astrowisata berbasis homestay, kita tidak hanya membuka peluang ekonomi baru, tetapi juga memastikan bahwa langit malam Pulau Sabu tetap menjadi kanvas alami tempat bintang-bintang bersinar terang.

108

views

21 October 2025