Penulis:
Dr.mont. Ir. Andy Yahya Al Hakim, S.T., M.T.
Dosen Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi
Kawasan Geopark Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur, bukan hanya rumah bagi keindahan alam yang mempesona seperti fenomena api biru di Kawah Ijen, tetapi juga menyimpan tantangan lingkungan yang kerap luput dari perhatian. Di balik panorama eksotis dan hamparan kabut belerang yang menjadi daya tarik wisata dunia, tersimpan potensi pencemaran kimia dari sumber geogenik yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat di sekitarnya. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa keindahan alam seringkali berjalan beriringan dengan risiko ekologis yang memerlukan pemahaman ilmiah dan pengelolaan berkelanjutan.
Menyadari urgensi tersebut, tim dari Institut Teknologi Bandung hadir melalui program Pengabdian kepada Masyarakat yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Layanan Kepakaran ITB. Program ini tidak sekedar menjadi agenda rutin kampus, tetapi bagian dari komitmen untuk membawa ilmu pengetahuan turun langsung ke masyarakat. Dengan menggabungkan riset, teknologi, dan pendekatan edukatif, kegiatan ini bertujuan mendelineasi potensi pencemaran kimia di kawasan Ijen sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesadaran lingkungan dan pemanfaatan teknologi dalam memahami fenomena alam di sekitar mereka. Mitra pengabdian masyarakat kali ini adalah UNESCO Global Geopark Ijen. Geopark sendiri merupakan kawasan wisata yang berbasis edukasi, konservasi dan kemanfaatan untuk masyarakat. Kawasan Geopark ini tidak hanya digunakan sebagai sekolah alam atau pun museum yang digunakan sebagai wahana untuk kegiatan pembelajaran berbasis geosains, namun juga untuk mendongkrak perekonomian warga di sekitarnya.
Program ini berangkat dari kondisi nyata di lapangan, dimana sungai yang mengalir dari Kawah paling asam di dunia menjadi sumber pencemar natural, biasa disebut sebagai pencemaran geogenik. Salah satu sumber utama permasalahan lingkungan di kawasan Ijen adalah sistem hidrogeokimia yang terbentuk akibat aktivitas vulkanik di Kawah Ijen. Air yang keluar dari kawah mengalir melalui Sungai Kalipait dengan tingkat keasaman yang ekstrem — pH-nya bahkan bisa kurang dari 1. Kondisi ini terjadi karena gas-gas vulkanik seperti sulfur dioksida (SO₂) dan hidrogen sulfida (H₂S) bereaksi dengan air hujan dan membentuk asam kuat, yang kemudian melarutkan berbagai unsur kimia dari batuan di sekitarnya. Akibatnya, air yang mengalir menuju daerah hilir membawa ion-ion seperti sulfat (SO₄²⁻), fluor (F⁻), serta logam berat lain yang berpotensi mencemari sumber air warga.
Untuk memahami seberapa besar potensi pencemaran tersebut, tim ITB melakukan dua rangkaian kegiatan utama — survei lapangan pada 25–31 Juli 2025 dan kegiatan edukasi masyarakat pada 12–15 September 2025. Selama survei, tim melakukan pengambilan sampel air dari berbagai titik strategis: mulai dari Kawah Ijen, Kampung Lima, Sumberrejo, Curah Macan, hingga aliran Sungai Kalipait dan Jampit. Pengambilan juga dilakukan di wilayah pemukiman seperti Belawan, Kalisat, dan Paltuding guna melihat pengaruh aliran air asam terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. Semua sampel kemudian dianalisis di Laboratorium Hidrogeologi dan Hidrogeokimia FTTM ITB untuk mengetahui karakter kimianya secara detail.
Hasil pengujian menunjukkan adanya kandungan ion fluor yang melebihi ambang batas baku mutu air untuk keperluan sanitasi dan konsumsi. Air dengan kadar fluor tinggi berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan seperti fluorosis gigi dan tulang bila digunakan dalam jangka panjang. Fenomena ini menjadi perhatian serius karena banyak warga sekitar yang menggunakan air tersebut tanpa mengetahui kandungan kimianya. “Masalah ini sering terabaikan karena sifatnya alami dan tidak kasat mata, padahal berbahaya bagi kesehatan,” jelas Muhammad Havid Noor Hidayat, mahasiswa Teknik Pertambangan ITB yang terlibat dalam penelitian lapangan. Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya edukasi publik mengenai pencemaran geogenik, yang seringkali tidak disadari karena tidak melibatkan aktivitas industri manusia.
Kegiatan ini tidak berhenti pada pengambilan data ilmiah. Tim ITB juga menyadari bahwa solusi jangka panjang hanya dapat dicapai melalui keterlibatan masyarakat secara aktif. Oleh karena itu, aspek edukasi menjadi pilar penting dalam program ini. Dalam fase kedua kegiatan, tim mengadakan berbagai aktivitas pembelajaran interaktif untuk masyarakat, guru, dan pelajar di sekitar Geopark Ijen. Tujuannya bukan hanya menyampaikan hasil penelitian, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar.
Kekuatan program ini terletak pada kolaborasi multidisiplin. Di bawah koordinasi Dr.mont. Ir. Andy Yahya Al Hakim, S.T., M.T., tim terdiri dari dosen dan mahasiswa dari berbagai fakultas: Irwan Iskandar, S.T., M.T., Ph.D., Yogie Candra Bhumi, S.Ds., M.Ds., Miranti Sari Rahma, S.T., M.Ds., Abdillah Baraas, S.T., M.T. (Ketua Geopark Ijen sekaligus alumni ITB), serta Muhammad Syukri dari Laboratorium Hidrogeologi dan Hidrogeokimia FTTM ITB. Puluhan mahasiswa dari disiplin teknik pertambangan, geologi, hingga seni desain turut berpartisipasi dalam kegiatan observasi, analisis, dan pembuatan media edukasi.
Pendekatan lintas keilmuan ini menjadi pondasi utama keberhasilan program. Dari sisi sains, tim pertambangan dan geologi fokus pada pemetaan sebaran ion kimia, aliran air, dan proses geokimia yang terjadi di lapangan. Di sisi lain, tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB berperan penting dalam mengubah data dan hasil analisis tersebut menjadi materi pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami masyarakat awam. Sinergi antara dua dunia ini — ilmiah dan kreatif — menciptakan jembatan komunikasi yang kuat antara peneliti dan publik. Data rumit dari laboratorium diubah menjadi pengalaman belajar yang interaktif dan menyenangkan.
Salah satu kegiatan yang paling berkesan adalah workshop interaktif bagi siswa-siswi SMP dan SMA di wilayah Banyuwangi. Melalui pendekatan permainan dan visualisasi, para mahasiswa ITB mengenalkan konsep dasar geologi, siklus air, dan potensi bahaya lingkungan di sekitar mereka. Sesi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan siswa, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu dan kebanggaan terhadap kekayaan alam daerah sendiri. “Kami ingin agar mereka melihat bahwa sains bukan sesuatu yang jauh atau sulit, tetapi dekat dengan kehidupan sehari-hari,” ujar salah satu anggota tim FSRD ITB.
Bagi para guru, tim menyelenggarakan pelatihan pembuatan media pembelajaran berbasis teknologi, termasuk penggunaan Augmented Reality (AR) dan 3D printing. Dengan teknologi ini, guru dapat menampilkan Kawah Ijen, Sungai Kalipait, atau struktur geosite lain dalam bentuk interaktif tiga dimensi di layar ponsel atau tablet. Visualisasi semacam ini membantu siswa memahami proses geologi dan dampaknya secara nyata, bahkan tanpa harus ke lapangan. Pembelajaran pun menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan mereka.
Selain AR, tim juga memproduksi poster interaktif, maket geosite, panel Braille bagi masyarakat penyandang disabilitas penglihatan, serta majalah edukasi populer yang menjelaskan proses terbentuknya Ijen dan tantangan lingkungannya. Semua karya ini dirancang dengan prinsip inklusif — agar setiap orang, tanpa memandang usia atau kondisi fisik, dapat memahami dan menikmati ilmu pengetahuan. Pendekatan ini mempertegas semangat “ilmu untuk semua,” yang menjadi nilai utama ITB dalam pengabdian masyarakat.
Dampak kegiatan ini tidak hanya dirasakan di sekolah-sekolah, tetapi juga menjangkau pemerintah daerah. Dalam kunjungan resmi ke Kantor Bupati Banyuwangi, tim ITB mempresentasikan hasil survei dan inovasi teknologi yang dikembangkan selama program berlangsung. Produk 3D printing dan AR yang menampilkan keindahan dan sistem geologi Ijen mendapat perhatian khusus karena dinilai dapat mendukung promosi wisata edukatif sekaligus konservasi lingkungan.
Dalam audiensi tersebut, Bupati Banyuwangi, Ibu Ipuk Fiestiandani, menyampaikan apresiasinya:
“Kami menyambut kehadiran tim dari ITB Bandung dalam rangka survey lapangan ke Banyuwangi, khususnya terkait program Desanesha. Kami berharap ke depannya dapat terjalin kerja sama yang lebih intens antara ITB dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, sehingga kami dapat terbantu melalui program-program, ide-ide kreatif, serta penyelesaian permasalahan daerah yang berbasis akademik.”
Pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa kerja sama antara akademisi dan pemerintah dapat menghasilkan solusi nyata bagi masyarakat. Melalui kegiatan ini pula, tim memperkenalkan Desanesha (Desa untuk Indonesia Berdesa) — platform daring ITB yang memungkinkan desa-desa di seluruh Indonesia melaporkan isu lokal untuk dicarikan solusi berbasis riset dan teknologi. Inisiatif ini memperluas dampak kegiatan, menjadikan Ijen sebagai contoh bagaimana sains dan teknologi dapat menyentuh kehidupan masyarakat desa secara langsung.
Lebih dari sekadar proyek, kegiatan ini menjadi simbol keterlibatan aktif akademisi dalam pembangunan berkelanjutan. Data ilmiah yang diperoleh dari survei lapangan kini tidak hanya tersimpan di laboratorium, tetapi juga menjadi dasar kebijakan dan pembelajaran publik. Edukasi kreatif menjadikan masyarakat bukan lagi objek penelitian, melainkan mitra yang berperan dalam menjaga kelestarian alamnya sendiri.
Pada akhirnya, program ini menegaskan peran penting perguruan tinggi dalam menghubungkan pengetahuan dengan pengabdian. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Andy Yahya Al Hakim,
“Ilmu bukan sekadar untuk dipelajari, tetapi juga untuk dibagikan dan dimanfaatkan. Pengabdian ini adalah bentuk tanggung jawab moral akademisi terhadap masyarakat dan lingkungan.”
Melalui sinergi antara riset, teknologi, dan edukasi, Geopark Ijen kini tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata alam kelas dunia, tetapi juga sebagai laboratorium terbuka bagi pembelajaran lingkungan. Di sinilah sains menjadi hidup — membumi di tengah masyarakat, menyala di ruang kelas, dan bergaung di antara tebing-tebing vulkanik Ijen yang megah. Upaya ini menjadi langkah nyata menuju Ijen yang lebih berkelanjutan, di mana pengetahuan tidak berhenti di ruang kuliah, tetapi menjadi alat untuk melindungi bumi dan generasi yang akan datang.
Tulisan Pendukung
Program edukasi dan delineasi potensi pencemaran di Geopark Ijen tidak bisa berdiri sendiri. Agar tujuan menjaga keseimbangan antara lingkungan, wisata, dan kehidupan sosial masyarakat benar-benar tercapai, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat lokal, pemerintah daerah, wisatawan, hingga dunia pendidikan. Berikut beberapa isu penting dan langkah nyata yang dapat dilakukan bersama:
1. Menguatkan Keterlibatan Komunitas Lokal
Banyak masyarakat di sekitar Ijen belum memiliki akses yang cukup terhadap informasi mengenai bahaya pencemaran kimia geogenik maupun antropogenik. Padahal mereka adalah pihak pertama yang merasakan dampaknya.
Langkah yang bisa dilakukan:
2. Membangun Ruang Belajar Terbuka di Desa
Edukasi sering berhenti di ruang kelas atau forum formal, padahal banyak warga lebih mudah belajar lewat pengalaman langsung.
Langkah yang bisa dilakukan:
3. Dukungan Pemerintah Daerah dan Pengelola Geopark
Program edukasi dan pemantauan lingkungan butuh keberlanjutan. Tanpa dukungan kebijakan dan anggaran dari pemerintah daerah, kegiatan seperti ini mudah berhenti setelah proyek kampus selesai.
Langkah yang bisa dilakukan:
4. Teknologi Sederhana untuk Masyarakat
Teknologi sering dianggap rumit dan mahal, padahal banyak solusi sederhana yang bisa digunakan untuk memantau kondisi lingkungan.
Langkah yang bisa dilakukan:
5. Mendorong Peran Wisatawan sebagai Mitra Pelestarian
Kunjungan wisatawan ke Kawah Ijen meningkat setiap tahun. Tanpa kesadaran lingkungan, peningkatan wisata dapat memperparah pencemaran dan kerusakan habitat.
Langkah yang bisa dilakukan:
6. Kolaborasi Antar-Kampus dan Sekolah Lokal
Pemantauan lingkungan dan edukasi akan lebih kuat jika didukung jejaring akademik yang luas.
Langkah yang bisa dilakukan:
7. Pendekatan Budaya dan Cerita Rakyat
Pendekatan ilmiah sering sulit diterima bila tidak dibarengi dengan nilai budaya lokal.
Langkah yang bisa dilakukan:
8. Membentuk Gerakan “Sahabat Ijen”
Kesadaran kolektif perlu dijaga melalui identitas bersama yang mudah diingat dan diikuti.
Langkah yang bisa dilakukan:
9. Transparansi dan Publikasi Data Lingkungan
Data kualitas lingkungan seringkali tidak sampai ke masyarakat. Padahal, keterbukaan informasi dapat meningkatkan rasa tanggung jawab kolektif.
Langkah yang bisa dilakukan:
10. Edukasi Menuju Gaya Hidup Hijau
Perubahan perilaku menjadi tujuan akhir dari semua program edukasi.
Langkah yang bisa dilakukan:
Menjaga Ijen bukan tugas satu pihak, melainkan gerak bersama yang membutuhkan hati dan komitmen. Dengan menggabungkan pengetahuan ilmiah, teknologi sederhana, dan kearifan lokal, masyarakat dapat menjadi garda terdepan pelindung lingkungan mereka sendiri. Langkah-langkah kecil seperti mencatat kondisi air, berbagi cerita tentang alam, dan mendukung wisata berkelanjutan akan membentuk gerakan besar — gerakan yang menjaga Ijen tetap lestari, bersih, dan berarti.