Penulis:
Dr. Qoriah, MA.
Pusat Kajian Halal
KK Ilmu Kemanusiaan, FSRD, ITB
Desa Jaboi di Ujung Barat Indonesia
Pulau Weh yang terletak di ujung barat Indonesia, tepatnya di Sabang, Aceh, mungkin hanya tampak seperti titik kecil di peta. Namun dibalik kesan geografis yang terpencil, Pulau Weh khususnya Gampong Jaboi, menyimpan potensi besar sebagai pusat pengolahan hasil laut. Terletak di antara Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Teluk Benggala, wilayah ini dianugerahi kekayaan hayati laut yang melimpah, mulai dari ikan-ikan karang, lobster, hingga gurita yang menjadi komoditas unggulan. Asupan nutrisi laut dari perairan dalam maupun daratan turut serta meningkatkan hasil produksi perikanan tangkap bagi nelayan di Pulau Weh.
Mayoritas masyarakat Gampong Jaboi menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan tangkap, di samping sektor pertanian. Tidak sekadar menjual hasil tangkapan secara mentah, masyarakat juga tergabung dalam Kelompok Usaha Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) yang memproduksi berbagai olahan hasil laut. Produk olahan ini juga menjadi alternatif pangan bagi masyarakat lokal apabila nelayan tidak bisa melakukan kegiatan penangkapan akibat cuaca buruk yang kerap ditemui saat musim barat. Olahan produk ini sejatinya memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena permintaan terhadap produk perikanan tangkap nasional terus mengalami kenaikan, terutama untuk komoditas seperti udang, kepiting, dan juga termasuk gurita. Masyarakat Desa Jaboi adalah sekelompok masyarakat yang memiliki inisiatif dan semangat tinggi untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Dukungan dari Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Kota Sabang dan Kepala Desa Jaboi turut memberikan suntikan bagi pelaku Poklahsar Perikanan Tangkap untuk terus berinovasi memajukan daerah.
Masalah dan Alternatif Solusi
Di balik semangat warga mengolah hasil laut, terdapat kendala mendasar yang menghambat pemasaran produk keluar Pulau Weh. Salah satunya adalah proses pembersihan dan pengolahan yang belum higienis yang diduga kuat akibat sumber air yang tercemar sulfur dioksida dari aktivitas geothermal alami di Jaboi. Kondisi ini menyebabkan masa simpan produk menjadi pendek. Distribusi produk olahan hanya mampu menjangkau Banda Aceh. Padahal, produk serupa di daerah lain bisa bertahan lebih lama dan menembus pasar luar provinsi.
Lebih ironis lagi, jumlah pelaku UMKM di Sabang masih yang terendah di Aceh, padahal provinsi ini sering digaungkan sebagai ikon wisata halal dan industri halal nasional. Sertifikasi halal dan izin edar BPOM masih menjadi tantangan berat karena belum terpenuhinya standar higienitas dalam proses produksi.
Melihat situasi ini, tim pengabdian masyarakat dari tiga perguruan tinggi: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Brawijaya (UB), dan Universitas Syiah Kuala (USK) berkolaborasi dalam kegiatan implementasi teknologi tepat guna dan pendampingan pendaftaran sertifikasi halal di Pohlaksar Sabena Gampong Jaboi. Dalam kolaborasi ini, semua memiliki peran penting sesuai dengan keahlian masing-masing. Dari mulai meneliti kualitas air yang diduga kuat sebagai penyebab utama rendahnya masa simpan produk; Mengevaluasi proses higienitas pada rantai pengolahan hasil laut; Memberikan teknologi tepat guna berupa alat ultrafiltrasi untuk menyaring kontaminan dari sumber air lokal dan meja stainless dengan desain untuk food grade; Dan melakukan pendampingan dan pelatihan proses pendaftaran sertifikasi halal dan standarisasi proses produksi untuk Poklahsar Sabena Gampong Jaboi.
Penggunaan alat ultrafiltrasi memungkinkan pemisahan zat berbahaya pada air hingga tingkat mikro, menjadikan air layak digunakan untuk pencucian dan pemrosesan produk olahan laut. Meja stainless steel dengan desain yang ergonomi dan berstandar food grade dapat memaksimalkan proses pencucian dan pemrosesan produk sehingga memenuhi memenuhi standar higienis. Kedua alat teknologi tepat guna ini memberikan solusi praktis dan ekonomis yang bisa langsung diterapkan oleh Pohlaksar Sabena.
Penyerahan kedua teknologi tepat guna yaitu alat ultrafiltrasi dan meja stainless food grade dilakukan secara resmi dengan penandatangan Berita Acara Serah Terima (BAST) dari pihak Institut Teknologi Bandung ke Pemerintah daerah Sabang, yang bertempat di rumah produksi Pohlaksar Sabena. Dari pihak Institut Teknologi Bandung penandatangan diwakili oleh ketua Kelompok Pengabdian pada Masyarakat di Gampong Jaboi Dr. Qoriah, MA., sedangkan dari Pemerintah Daerah Kota Sabang diwakili oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan kota Sabang bapak Zulfan, S.Pi., Keuchik Gampong Jaboi bapak Mahmudi, dan Ketua Pohlaksar Sabena bapak Al-Ahyar.
Dukungan dan Harapan dari Warga serta Pemerintah Daerah
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang, Zulfan, S.Pi, yang turut hadir dalam pendampingan dan penyerahan alat teknologi tepat guna menyatakan apresiasinya, “Penerapan teknologi ini sangat bermanfaat bagi Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) perikanan tangkap di Sabang. Sehingga komoditas olahan hasil tangkap kami akan mampu menjadi komoditas unggulan di Provinsi Aceh. Bahkan di Indonesia” pungkasnya.
“Teknologi-teknologi kekinian dari hasil riset kampus sangat berharga bagi masyarakat di Sabang khususnya. Semoga hari ini menjadi awal kolaborasi antara masyarakat Sabang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang, dan juga rekan-rekan dosen kampus untuk bersama memperkuat ketahanan nasional di kawasan terdepan Indonesia pada sektor pangan dan ekonomi” sambung Zulfan.
Prof Made Ari Penia pakar Teknik Pangan dari ITB yang turut hadir juga memberikan pandangannya”Higienitas air juga harus diikuti dengan standar higienitas proses pengolahan, oleh karena itu tim kami saat ini juga memberikan bantuan meja pembersihan produk ikan tangkapan berbahan stainless steel berbasis food grade. Harapannya adalah untuk meminimalisir bakteri yang mencemari saat proses pembersihan”
Sementara itu, para anggota Pohlaksar menyambut baik dan menerima alat teknologi tepat guna yang diberikan dan mengikuti pendampingan proses pengolahan hasil tangkap dan pendaftaran sertifikasi halal dengan antusias. Mereka merasa dibantu tidak hanya dalam aspek teknis pengolahan, tapi juga diberikan bekal administratif dan legalitas sertifikasi halal yang selama ini dianggap rumit dan tidak terjangkau.
“Dari analisis fenomena oseanografi terhadap perikanan tangkap, gurita dapat ditemui hampir disepanjang musim di perairan Pulau Weh. Ditambah dengan kualitas air laut yang mendukung, seharusnya olahan hasil perikanan dari Desa Jaboi ini bisa diterima oleh skala industri yang besar” terang Mutia Ramadhaniaty, MSi peneliti Kelautan dari USK.
Kontribusi Terhadap SDGs
Sebuah langkah maju tengah diambil oleh Kelompok Pengolah dan Pemasar (Poklahsar) Gampong Jaboi, Sabang. Tidak hanya berhasil meningkatkan kualitas produksi olahan hasil laut, kelompok ini kini bersiap memasuki panggung industri halal dan pangan olahan nasional.
Kunci keberhasilan mereka terletak pada satu hal mendasar namun krusial: akses terhadap air bersih yang memenuhi standar higienis. Melalui kegiatan pengabdian masyarakat yang melibatkan berbagai pihak, Poklahsar Jaboi dibekali fasilitas dan pendampingan intensif untuk menerapkan proses pencucian dan pengolahan produk yang bersih dan sesuai standar kesehatan.
Tidak berhenti sampai di situ, proses sertifikasi halal juga telah dimulai, termasuk persiapan untuk mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Langkah ini menjadi sangat penting agar produk olahan mereka bisa bersaing di pasar nasional, bahkan internasional.
Menariknya, inisiatif ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya poin ke-6: menjamin ketersediaan dan pengelolaan air bersih serta sanitasi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, air bersih bukan hanya soal kesehatan, tapi juga menjadi pintu masuk untuk mengangkat nilai ekonomi masyarakat pesisir seperti di Jaboi.
Dengan sinergi antara peningkatan kualitas, standar kebersihan, dan sertifikasi halal, Poklahsar Jaboi menunjukkan bahwa komunitas pesisir pun punya potensi besar untuk menjadi bagian dari ekosistem industri halal Indonesia.
Rekomendasi jangka panjang:
Kampus Berdampak
Pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh kolaborasi multi kampus ITB-UB-USK ini adalah bagian dari program Kemdiktisaintek yang mendorong perguruan tinggi membawa pengaruh dari hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh dosen peneliti. Perguruan tinggi sebagai rumah bagi peneliti untuk mengekspresikan karya pikirnya harus dapat menjawab permasalahan yang ada di tengah masyarakat sebagai bagian dari amanah yang diberikan kepada dosen. Selain itu, tim pengabdian juga bertanggungjawab terhadap keberlanjutan ilmu pengetahuan yang dimilikinya yaitu melalui pengajaran langsung kepada mahasiswa di lapangan. Demikian kegiatan ini juga membawa dampak kepada mahasiswa multidisiplin ilmu yang dilibatkan yaitu Nur Fadilah Muktiningsih (Teknik Geodesi dan Geomatika ITB) dan Sarah Kristina Pakpahan (Teknik Lingkungan ITB) untuk mengimplementasikan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan kepada masyarakat langsung. Di masa mendatang calon peneliti muda ini diharapkan dapat terus mengembangkan saintek dengan nilai-nilai humanis.