Merajut Kesiapsiagaan Bencana Geologi di Liya One Melangka
Penulis:
Dr. Ir. Endra Gunawan, S.T., M.Sc.
KK Geofisika Global
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
Di ujung tenggara Sulawesi, Desa Liya One Melangka menghadap luasnya Laut Banda. Pesisirnya yang indah menyimpan ketenangan, tetapi ketenangan itu tidak lepas dari potensi gempa bumi dan tsunami yang setiap saat bisa datang tanpa peringatan. Letaknya yang dekat dengan zona subduksi aktif menjadikan desa ini rawan bencana geologi. Bagi warga Liya One Melangka, risiko ini bukan sekadar angka dalam peta, melainkan sesuatu yang harus mereka sadari sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Namun di tengah ketidakpastian itu, ada keyakinan yang terus dijaga: risiko bisa dikelola, korban bisa diminimalkan, dan yang paling penting, masyarakat bisa disiapkan untuk menghadapi bencana dengan kesadaran dan ketenangan. Melalui pendidikan dan kerja sama, keyakinan ini perlahan tumbuh menjadi kekuatan kolektif di tengah masyarakat.
Pada Juli 5 2025 2025, langkah kecil menuju kesiapsiagaan itu diambil bersama. Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Halu Oleo (UHO), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hadir di Liya One Melangka dalam sebuah kegiatan pengabdian masyarakat bertema “Penguatan Kapasitas Masyarakat untuk Mitigasi Gempa dan Tsunami.”
Kegiatan ini bukan hanya tentang sosialisasi, melainkan ruang belajar bersama. Anak-anak, orang tua, hingga pemuda desa diajak mengenal tanda-tanda bahaya, mempelajari jalur evakuasi, serta memahami bagaimana bersikap ketika bencana tiba. Latihan simulasi evakuasi dilakukan bersama, bukan untuk menakuti, tetapi untuk menyiapkan diri.
Di Desa Liya One Melangka, kesiapsiagaan tidak berhenti pada rencana. Ia hidup dalam ingatan bersama, menjadi bagian dari keseharian, dan menjadi pengingat bahwa menjaga keselamatan adalah tanggung jawab bersama.
Menumbuhkan Kesiapsiagaan Lewat Kolaborasi Ilmu dan Masyarakat
Di Desa Liya One Melangka, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, potensi gempa bumi dan tsunami bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat pesisirnya. Namun, di antara kemungkinan ancaman itu, tumbuh sebuah keyakinan: risiko dapat dikurangi, dan keselamatan dapat diupayakan melalui pengetahuan dan kebersamaan.
Keyakinan inilah yang menjadi dasar kolaborasi antara Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Halu Oleo (UHO), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam kegiatan “Penguatan Kapasitas Masyarakat untuk Mitigasi Gempa dan Tsunami” di Desa Liya One Melangka. Kolaborasi ini tidak hanya menggabungkan keahlian akademis dan riset dari berbagai disiplin, tetapi juga menghadirkan pendekatan berbasis komunitas, menjadikan masyarakat sebagai pusat dari setiap langkah mitigasi yang dilakukan.
ITB membawa kekuatan analisis dan riset kebencanaan, BRIN menghadirkan dukungan riset terapan dan teknologi, sedangkan UHO berperan penting dalam jembatan komunikasi dengan masyarakat pesisir Sulawesi Tenggara. Bersama-sama, ketiganya merancang materi edukasi dan simulasi yang tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga mudah dipahami dan relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat lokal.
Di lapangan, kolaborasi ini bukan hanya berbentuk penyuluhan satu arah. Anak - anak diajak berpartisipasi dalam simulasi evakuasi, mengenali jalur aman, memahami tanda-tanda alam sebelum bencana terjadi, dan mempraktikkan cara melindungi diri saat gempa dan tsunami datang. Setiap sesi menjadi ruang belajar bersama, di mana ilmu pengetahuan bertemu dengan kearifan lokal, dan rasa kebersamaan menjadi fondasi kesiapsiagaan.
Melalui kolaborasi lintas lembaga ini, Desa Liya One Melangka tidak lagi berdiri sendiri menghadapi risiko bencana. Masyarakatnya dibekali ilmu, keterampilan, dan semangat untuk saling menjaga, mengubah potensi ancaman menjadi ruang kesiapsiagaan yang tumbuh dari komunitas itu sendiri. Karena pada akhirnya, kesiapsiagaan bukan hanya tentang bertahan dari bencana, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih aman bersama-sama. Kolaborasi lintas institusi ini menjadi kekuatan utama dalam menyusun materi edukasi yang tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga mudah dipahami oleh masyarakat.
Membangun Generasi Tangguh dari Sekolah: Simulasi Mitigasi Bencana di Wakatobi
Fokus kegiatan sosialisasi hari itu tertuju pada SD Negeri One Melangka, sebuah sekolah dasar di pesisir Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi. Sekolah ini menjadi titik awal penting dalam membentuk generasi muda yang tanggap dan siap menghadapi ancaman bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami.
Siswa-siswi di sekolah tersebut mendapatkan pemahaman dasar tentang gempa dan tsunami apa penyebabnya, seperti apa dampaknya, dan bagaimana langkah-langkah keselamatan yang harus dilakukan jika bencana benar-benar terjadi. Di usia mereka yang masih belia, pemahaman seperti ini bukan hanya penting, tetapi vital. Sebab, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan saat bencana melanda. Fisik mereka belum cukup kuat, dan secara psikologis pun belum siap menghadapi situasi darurat. Maka membekali mereka sejak dini adalah sebuah langkah preventif jangka panjang yang sangat berarti. Siswa dan siswi SD Negeri One Melangka diajak bermain sambil belajar, menjawab pertanyaan, bahkan berdiskusi ringan mengenai bencana yang mungkin belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Puncaknya adalah simulasi evakuasi. Ketika kami berteriak akan terjadinya gempa, para siswa langsung melakukan prosedur tanggap darurat 3B (berlindung, bersimpuh, bertahan) sebelum berlari dengan tertib menuju titik kumpul aman yang telah ditentukan. Simulasi ini bukan hanya melatih fisik, tetapi juga membentuk ketenangan, kedisiplinan, dan refleks menghadapi kondisi darurat.
Kegembiraan tampak jelas dari wajah anak-anak. Mereka terlihat antusias, serius, tapi juga menikmati proses belajar ini. Edukasi kebencanaan ternyata tak selalu harus menakutkan, justru bisa dibawakan dengan penuh semangat dan kedekatan emosional.
Mereka menyadari bahwa peran sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga benteng awal perlindungan dan penyebaran pengetahuan. Poster-poster edukatif disebarkan ke setiap kelas, dan pamflet-pamflet dibagikan kepada siswa agar bisa dibaca bersama keluarga di rumah.
Melalui kegiatan ini, SD Negeri One Melangka tidak hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi juga pusat pembentukan karakter tangguh dan siaga bencana. Diharapkan, dari sekolah ini akan lahir anak-anak yang tidak hanya cerdas, tapi juga siap, tanggap, dan berani dalam menghadapi bencana alam yang mungkin datang tanpa tanda.
Semangat Tak Surut di Hari Libur: Masyarakat Wakatobi Antusias Ikuti Edukasi Bencana
Menariknya, kegiatan edukasi bencana di Desa Liya One Melangka, Wakatobi, dilaksanakan pada hari libur. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi semangat mereka. Sejak pagi, siswa-siswi SD Negeri One Melangka sudah berkumpul dengan antusias.
Kegiatan dimulai dengan penyuluhan interaktif mengenai gempa bumi dan tsunami. Anak-anak diajak berdiskusi, menjawab pertanyaan, hingga mempraktekkan langkah-langkah keselamatan secara langsung. Meskipun hari itu bukan hari sekolah, semangat belajar mereka tetap tinggi. Sorak dan tawa bercampur dengan rasa ingin tahu menjadikan suasana kegiatan begitu hidup dan menyenangkan.
Siswa-siswa sangat antusias dan aktif. Mereka tidak hanya mendengarkan, tapi juga bertanya dan mengikuti simulasi dengan serius. Bersama tim dari UHO dan BRIN, para fasilitator memastikan bahwa setiap materi tidak hanya disampaikan, tapi benar-benar dipahami oleh para siswa dan siswi SD Negeri One Melangka.
Partisipasi Aktif Warga dalam Edukasi Mitigasi
Kegiatan berlanjut hingga sore hari dengan sesi sosialisasi di Kantor Desa, diikuti oleh warga dari tiga dusun: One Digi, One Melangka, dan One Sipi. Mereka hadir tanpa paksaan, menunjukkan bahwa kesadaran terhadap pentingnya mitigasi bencana semakin tumbuh di masyarakat. Diskusi hangat terjadi antara warga dan pemateri, membahas pengalaman menghadapi bencana serta tantangan evakuasi di daerah masing-masing.
Dr. Endra Gunawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu pemateri dalam kegiatan ini, menjelaskan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa meskipun gempa tidak selalu terasa di permukaan, potensi tsunami tetap ada. “Wanci memang tidak selalu merasakan gempanya, tetapi dampaknya yaitu tsunami bisa sangat besar. Maka dari itu penting untuk memahami keterkaitan antara gempa dan bahaya yang menyertainya, ” ujarnya.
Partisipasi warga dalam sesi ini sangat penting karena mereka adalah pihak yang paling terdampak jika bencana benar-benar terjadi. Sosialisasi dilakukan secara interaktif, di mana warga tidak hanya mendengarkan materi, tetapi juga aktif berdiskusi mengenai pengalaman mereka dalam menghadapi bencana, tantangan evakuasi, dan kondisi geografis wilayah tempat tinggal masing-masing.
Diskusi dua arah ini menjadi kekuatan utama pendekatan partisipatif yang diterapkan. Materi disampaikan menggunakan bahasa sehari-hari dan contoh yang relevan dengan kehidupan lokal, sehingga mudah dipahami oleh seluruh kalangan termasuk warga lanjut usia dan ibu rumah tangga.
Pemetaan Evakuasi Mandiri: Warga Wakatobi Bangun Sistem Siaga Bencana
Salah satu momen paling bermakna dalam rangkaian kegiatan edukasi kebencanaan di Desa Liya One Melangka adalah pelaksanaan penyusunan peta evakuasi mandiri oleh warga. Kegiatan ini tidak sekadar menjadi latihan teknis, melainkan bentuk nyata dari pelibatan masyarakat secara aktif dalam proses mitigasi bencana. Warga dari setiap dusun baik dari One Digi, One Melangka, maupun One Sipi diminta untuk secara partisipatif menggambarkan jalur-jalur evakuasi dari lingkungan tempat tinggal mereka menuju titik-titik kumpul yang dianggap aman. Mereka mempertimbangkan letak rumah, jalan utama, jalur alternatif, dan kondisi geografis lokal saat menyusun peta tersebut.
Proses ini tidak hanya memberikan pemahaman yang lebih konkret kepada warga mengenai rute evakuasi, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sistem kesiapsiagaan yang sedang dibangun di desa mereka. Ketika warga terlibat langsung dalam proses perencanaan, maka sistem tersebut tidak lagi terasa asing atau dipaksakan dari luar, melainkan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kehadiran dan dukungan dari perangkat desa serta tokoh masyarakat setempat memainkan peran penting dalam menyukseskan kegiatan ini. Mereka tidak hanya hadir sebagai simbol formalitas, tetapi benar-benar mengambil bagian sebagai penghubung yang memperkuat komunikasi antara tim pengabdian dengan warga.
Harapannya, pendekatan berbasis partisipasi ini dapat terus dikembangkan menjadi model edukasi kebencanaan yang berkelanjutan di Wakatobi. Sebuah sistem yang tumbuh dari kesadaran warga sendiri, didukung oleh institusi pendidikan dan riset, serta dipandu oleh nilai-nilai lokal yang menghormati pengalaman dan kearifan masyarakat. Edukasi kebencanaan bukanlah tugas sesaat, tetapi upaya jangka panjang yang dimulai dari desa, dijalankan oleh masyarakat, dan ditujukan untuk melindungi kehidupan bersama.
Media Visual (Poster, Pamflet) sebagai Jembatan Edukasi Berkelanjutan di Wakatobi
Setelah sesi edukasi dan diskusi mengenai mitigasi bencana selesai dilaksanakan, tim pengabdian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) turut membagikan poster dan pamflet edukatif kepada para siswa, serta masyarakat Desa Liya One Melangka. Materi cetak ini berisi informasi dasar mengenai gempa bumi dan tsunami, cara tanggap darurat, serta jalur evakuasi yang perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Desain poster dibuat dengan bahasa yang sederhana dan visual yang menarik, sehingga dapat dipahami oleh anak-anak, orang tua, hingga warga lanjut usia. Inovasi sederhana ini terbukti efektif dalam memperluas jangkauan informasi dan memperkuat pesan yang telah disampaikan secara lisan selama kegiatan berlangsung.
“Poster ini kami serahkan kepada pihak sekolah untuk dipasang di setiap kelas, dan juga kami berikan ke pemerintah desa agar bisa ditempel di tempat-tempat strategis,” jelas Dr. Endra Gunawan dari ITB saat sesi penyerahan media edukasi kepada kepala sekolah dan perwakilan desa.
Poster-poster tersebut kemudian ditempatkan di lokasi-lokasi yang mudah diakses oleh masyarakat, seperti ruang kelas, balai desa, dan tempat berkumpul warga. Dengan begitu, pesan-pesan kesiapsiagaan dapat terus terlihat dan tertanam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa, tidak hanya berhenti pada satu kali pertemuan sosialisasi.
Pamflet yang dibagikan kepada siswa juga diharapkan dapat menjadi media edukasi lanjutan di dalam keluarga. Anak-anak diminta membawa pamflet pulang dan membacanya bersama orang tua, agar informasi mengenai bencana dan langkah keselamatan dapat menyebar hingga ke tingkat rumah tangga.
Media visual seperti ini bukan sekadar alat pelengkap, melainkan bagian penting dari strategi membangun budaya sadar bencana. Ketika informasi menjadi bagian dari lingkungan dan aktivitas harian, maka kemampuan masyarakat dalam merespons bencana secara cepat dan tepat pun akan semakin terbentuk secara alami. Inilah bentuk edukasi berkelanjutan yang membumi, relevan, dan dapat diakses oleh semua kalangan.
Dari Pesisir Wakatobi, Siap Untuk Membangun Ketangguhan Melalui Edukasi dan Kolaborasi
Kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Liya One Melangka menjadi bukti nyata bagaimana kolaborasi lintas institusi akademisi, lembaga riset, dan pemerintah desa dapat membentuk sistem mitigasi risiko bencana yang tangguh dan inklusif. Berada di kawasan rawan gempa dan tsunami, desa pesisir ini membutuhkan pendekatan mitigasi yang bukan hanya berbasis ilmiah, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan budaya lokal.
Melalui sinergi antara Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Halu Oleo (UHO), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kegiatan ini menyasar berbagai lapisan masyarakat: mulai dari siswa-siswi sekolah dasar hingga perangkat desa dan warga tiga dusun One Digi, One Melangka, dan One Sipi. Dengan pendekatan edukatif dan partisipatif, kegiatan ini tidak hanya memindahkan ilmu dari kelas ke lapangan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif warga bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dalam kegiatan ini, para akademisi menyampaikan materi tentang gempa bumi, tsunami, dan langkah-langkah keselamatan secara komunikatif dan mudah dipahami. Dr. Endra Gunawan dari ITB menjelaskan hubungan antara aktivitas seismik bawah laut di sekitar Laut Banda dan potensi tsunami yang bisa mengancam Wakatobi. Ia menekankan pentingnya memahami bahwa walaupun guncangan gempa tidak selalu terasa di permukaan, ancaman tsunami bisa tetap muncul.
Pemaparan ilmiah tersebut dikemas secara sederhana agar dapat menjangkau seluruh kalangan anak-anak, ibu rumah tangga, hingga nelayan. Salah satu kekuatan dari kegiatan ini adalah kemampuan tim dalam menerjemahkan istilah teknis seperti subduksi, amplifikasi, atau peringatan dini, menjadi pesan praktis yang dapat dipahami dan diingat oleh warga.
Lebih dari sekadar penyuluhan, kegiatan ini juga mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam penyusunan peta evakuasi mandiri. Warga dari tiap dusun bersama-sama menggambar jalur-jalur aman berdasarkan kondisi geografis tempat tinggal mereka. Aktivitas ini bukan hanya edukatif, tetapi juga membangun rasa kepemilikan terhadap sistem evakuasi desa. Peta yang dihasilkan bukanlah hasil dari luar, tetapi lahir dari warga sendiri berdasarkan pengalaman, medan yang mereka kenal, dan kebiasaan sehari-hari.
Melalui kegiatan ini, Desa Liya One Melangka tidak hanya menerima ilmu, tetapi juga membentuk semangat kebersamaan dalam menghadapi bencana. Kolaborasi yang dilakukan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi transformasi budaya dari pasif menjadi aktif, dari takut menjadi siap, dari tidak tahu menjadi tangguh. Inilah bukti bahwa membangun desa siaga bukan tentang proyek besar, tetapi langkah kecil yang dikerjakan bersama dengan penuh kesadaran.
Melangkah Menuju Desa Siaga: Mewujudkan Harapan Akan Masa Depan yang Lebih Aman
Desa Liya One Melangka kini mulai membangun harapan baru. Dari wilayah pesisir yang sebelumnya dikenal rawan bencana, perlahan masyarakatnya menapaki jalan menjadi komunitas yang tanggap dan siap menghadapi risiko. Perubahan ini bukan lahir dari kemajuan teknologi mutakhir atau pembangunan fisik semata, melainkan dari tumbuhnya kesadaran, pendidikan yang menyentuh akar rumput, serta sinergi antar pihak yang peduli.
Salah satu capaian penting dari kegiatan ini adalah meningkatnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap isu kebencanaan. Warga mulai memahami bahwa kesiapsiagaan bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau pihak luar, melainkan bagian dari tanggung jawab bersama sebagai satu komunitas desa.
Dengan pendekatan yang mengajak masyarakat terlibat secara langsung baik dalam diskusi, simulasi, maupun perencanaan warga tidak lagi sekadar menjadi objek penerima informasi. Mereka aktif sebagai mitra dalam setiap proses penyusunan solusi. Ini menjadi fondasi penting agar program mitigasi yang ada tidak hanya selesai dalam kegiatan singkat, tetapi berlanjut sebagai gerakan kolektif yang dijalankan bersama.
Anak-anak kini memahami apa yang harus dilakukan saat bencana datang, sementara para orang tua merasa lebih siap dan tidak lagi pasrah dalam menghadapi kemungkinan buruk. Masyarakat kini percaya diri bahwa mereka bisa menghadapi keadaan darurat dengan tenang dan terarah.
Harapan besar disematkan kepada warga Liya One Melangka untuk terus menjalin komunikasi aktif dengan pemerintah daerah, serta menjaga semangat gotong royong dalam membangun ketangguhan desa. Liya One Melangka telah beralih dari desa yang menunggu bantuan saat bencana, menjadi desa yang aktif membekali diri dan warganya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Anak-anak kini mengenali ancaman alam yang mungkin terjadi di sekitar mereka. Masyarakat mulai memahami bahwa kesiapan bukan sekadar reaksi saat bencana terjadi, tetapi harus menjadi kebiasaan dan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Menjadikan desa siaga bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang yang harus terus dibangun. Namun, dengan semangat yang telah tumbuh di tengah masyarakat, Desa Liya One Melangka menunjukkan bahwa masa depan yang lebih aman bukan hanya harapan, tapi sedang mereka ciptakan, satu langkah demi satu langkah.
Ilmu Pengetahuan Bertemu Aksi Nyata: Saat Edukasi dan Kepedulian Bersatu
Program pengabdian masyarakat di Liya One Melangka tak hanya sekadar menyampaikan materi, melainkan juga menjalin kedekatan, kepercayaan, dan kemampuan kolektif masyarakat. Dari anak-anak di bangku sekolah hingga warga dewasa, semua diberikan ruang dan kesempatan untuk memahami serta mempraktikkan langkah-langkah tanggap bencana.
Dengan semangat seperti ini, pengabdian tidak hanya menjadi kegiatan tahunan, tetapi bagian dari upaya jangka panjang untuk menciptakan bangsa yang tangguh. Liya One Melangka telah memberikan contoh bahwa perubahan dapat dimulai dari akar rumput.
Kegiatan ini menjadi ruang belajar dua arah, tempat ilmu akademik dan kearifan lokal saling mengisi. Mahasiswa tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mendapatkan pelajaran penting tentang semangat, solidaritas, dan kekuatan komunitas desa. Warga pun mendapatkan bekal praktis untuk meningkatkan kesiapsiagaan mereka di lingkungan masing-masing.
Kolaborasi yang terjalin antara institusi pendidikan, lembaga riset, mahasiswa, dan masyarakat menjadi pilar utama kesuksesan kegiatan ini. Dengan pendekatan seperti ini, model pengembangan desa tangguh dapat direplikasi ke wilayah lain, mendorong lahirnya lebih banyak komunitas siaga di berbagai penjuru tanah air.
Lebih dari itu, kegiatan ini juga memberikan pelajaran penting bahwa dampak tidak harus besar secara langsung. Justru perubahan-perubahan kecil yang terjadi dalam pola pikir dan perilaku masyarakat menjadi dasar kuat untuk transformasi jangka panjang. Ketika seorang anak sudah tahu harus berlindung saat gempa, atau warga mulai memahami pentingnya peta evakuasi, di situlah masa depan desa sedang dibangun.
Pengabdian seperti ini bukan tentang siapa yang lebih tahu, tetapi tentang proses tumbuh bersama. Ilmu pengetahuan, aksi nyata, dan kepedulian menyatu untuk menciptakan perubahan yang berdampak nyata. Inilah yang telah terjadi di Desa Liya One Melangka, bukti bahwa ketangguhan bisa dibangun dari desa, oleh masyarakatnya sendiri, dan untuk masa depan yang lebih aman.