Merawat Kesiapsiagaan Bencana dengan Menyenangkan

Penulis:
Faizal Immaddudin Wira Rohmat, S.T, M.T, Ph.D
Lektor Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB
(KK Teknik Sumber Daya Air)

 

Swadaya siap siaga memantau banjir

Setiap musim hujan datang, Kawasan Majalaya dan sekitarnya mengalami banjir setidaknya enam kali setiap tahunnya. Banjir-banjir itu, mulai dari semata kaki sampai lebih tinggi dari lutut membuat semua kegiatan ekonomi berhenti. Banjir yang merupakan luapan dari Sungai Citarum dan anak-anak sungai seperti Cisunggalah ini kemudian membuat kawan-kawan di Komunitas Siaga Warga Majalaya (SWM) melakukan aktivitas swadaya pemantauan bahaya banjir atau floodwatching community. Dengan bermodalkan peralatan sederhana seperti kamera CCTV, papan duga air, walkie-talkie, aplikasi informasi BMKG, dan diseminasi melalui grup WhatsApp (WA), anggota Komunitas SWM bergiliran untuk memantau bahaya banjir, terutama di sore hari dan pada musim hujan. Grup WA pun menjadi saran informasi swadaya, untuk memperingatkan jika banjir datang dan warga harus menutup tembok pagar rumahnya dengan pintu air, juga memberi tahu jika banjir surut dan warga bisa beraktivitas kembali.

Tidak semua banjir bisa dilalui dengan ringan. Banjir yang terjadi pada malam hingga dini hari di Februari 2018 menjadi salah satu peristiwa yang tak terlupakan bagi warga Majalaya. Dalam hitungan jam, air meluap dari sungai dan merendam lebih dari 500 ha permukiman, pertanian, dan industri. Beberapa rumah roboh, komunikasi dan listrik terputus, dan sampai merenggut korban jiwa. Dalam kegelapan malam, warga tidak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga kehilangan rasa aman. Oleh karena ini, merawat kesiapsiagaan akibat rencana banjir bukan lagi pilihan, namun juga kebutuhan. Selain upaya top-down dari pemerintah untuk melakukan normalisasi sungai, komunitas SWM menjadi pendekatan bottom-up dalam menyediakan informasi real-time di tengah upaya pengembangan sistem peringatan dini resmi.

Mengenali Tanda-tanda Bahaya Banjir

Selama bertahun-tahun menghadapi banjir, warga Majalaya, terutama Komunitas SWM, membangun kemampuan untuk mengenali tanda-tanda awal bahaya banjir. Pengenalan tanda-tanda ini yang kemudian menjadi bagian penting dari peringatan dini dan diseminasi banjir berbasis swadaya ini.

Salah satu tanda yang paling awal dikenali adalah munculnya formasi awan hujan di daerah hulu, yakni area Ibun. Menariknya, salah satu anggota SWM memiliki rumah bertingkat yang menghadap langsung ke arah selatan, arah datangnya awan dari hulu Sungai Citarum. Di rumah itu dipasang kamera CCTV khusus untuk memantau langit dan pergerakan awan. Sehingga bisa memantau awan sambil tetap menjaga warung dan melayani pembeli. Selain itu, komunitas juga menjalin kerja sama dengan kolaborator lokal di daerah hulu seperti Cikitu dan Ibun. Mereka ini adalah warga biasa yang secara sukarela memberikan laporan jika hujan sudah mulai turun di daerahnya. Informasi dikirimkan secara cepat melalui pesan singkat, dan menjadi sinyal penting bagi warga di hilir untuk mulai bersiaga.

Setelah itu, perhatian beralih ke kondisi Sungai Citarum di wilayah Majalaya. Pemantauan dilakukan secara langsung atau melalui CCTV yang dipasang warga. Jika awan hujan telah terbentuk, kemudian turun hujan, dan aliran sungai mulai meninggi, maka relawan SWM meningkatkan intensitas pantauan. Komunitas ini juga memiliki akses ke sistem telemetri BBWS Citarum, yang menampilkan data tinggi muka air setiap 10 menit.

Semua informasi tersebut kemudian disebarkan melalui grup WhatsApp warga, dalam bentuk pesan berantai yang mudah dipahami. Contohnya: “Cai Citarum naék di 420 cm” “Warga disarankan nutup panto cai,” “Tetap berada di ruangan yang kuat dan aman,” “Cabut colokan dan jauhi sumber listrik.”

Jika air sungai mulai terlihat sangat keruh, tanda adanya limpasan dari hulu yang membawa sedimen berat. Ketika data telemetri menunjukkan tinggi muka air meningkat, maka warga tahu bahwa banjir kemungkinan besar akan datang. Inilah momen ketika pesan-pesan dari komunitas bisa menyelamatkan banyak rumah, bahkan nyawa.

Krisis regenerasi, ketergantungan, dan keswadayaan

Seiring waktu, muncul tantangan-tantangan baru yang tak kalah serius: di antaranya krisis regenerasi. Meski peran Komunitas SWM sangat krusial, masyarakat menjadi terlalu bergantung pada sekelompok kecil relawan yang aktif memantau banjir. Setiap kali hujan deras mengguyur, semua mata tertuju pada grup WhatsApp yang dikelola SWM. Siapa yang sedang jaga? Sudah ada kabar dari titik pantau? Apakah pintu air harus ditutup? Sementara di balik layar, relawan SWM adalah warga biasa. Masing-masing punya pekerjaan, keluarga, dan kesibukan sehari-hari. Tidak ada gaji, tidak ada jam kerja tetap. Mereka harus membagi waktu antara menjaga pos pantau, memperbarui informasi banjir, dan menjalani rutinitas hidup yang tak kalah menuntut.

Sehingga titik krusial dari perjalanan pengelolaan risiko banjir di Majalaya, bukan hanya terancamnya permukiman karena banjir, tapi juga keberlanjutan inisiatif warganya. Tanpa regenerasi, tanpa transfer pengetahuan, dan tanpa keterlibatan lebih banyak orang, sistem peringatan dini berbasis komunitas ini bisa runtuh perlahan, bukan karena air, tapi karena kehabisan tenaga. Karena itu, dibutuhkan pendekatan baru: membentuk kesadaran sejak dini, membangun kepedulian melalui pendidikan yang menyenangkan, dan melibatkan anak-anak sekolah dalam memahami lingkungan mereka sendiri. Inilah semangat yang melandasi lahirnya program “Ulin Bari Diajar” yang berarti bermain sambil belajar.

Ulin Bari Diajar

Saat edukasi kebencanaan sering kali identik dengan kegiatan simulasi serius dan suasana tegang, Ulin Bari Diajar (UBD) justru memilih pendekatan yang menyenangkan dan membumi. Rasanya seperti piknik RT yang sarat makna. Anak-anak sekolah, warga sekitar area banjir, dosen dan mahasiswa dari ITB, serta rekan-rekan dari pemerintah atau kampus lain, berkumpul bersama sejak pagi hingga siang untuk belajar sambil menjelajah.

Kegiatan dimulai di pos pertama: kawasan Atirompe, sebuah lokasi yang pernah mengalami gerusan hebat hingga tebing sungai runtuh. Kini tebing tersebut telah diperkuat melalui desain perlindungan yang dilakukan oleh tim Pusat Pengembangan Sumber Daya Air (PPSDA) ITB dan dikonstruksi juga dengan bantuan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Di titik ini, relawan SWM memandu peserta untuk memahami bagaimana aliran deras yang melewati tikungan sungai dapat memicu erosi dan menyebabkan banjir. Mereka menunjukkan bekas ketinggian genangan banjir yang bahkan sempat melebihi tinggi badan manusia.

Perjalanan dilanjutkan ke pos kedua di perpotongan Sungai Citarum dan Jalan Raya Majalaya, sebuah titik krusial dengan berbagai instrumen pemantau banjir. Di sini peserta dikenalkan pada papan duga air dari PPSDA ITB dan alat pemantauan resmi dari BBWS Citarum. Peserta diajak mengamati langsung bagaimana alat-alat ini bekerja serta belajar mengenali tanda-tanda bahaya banjir dari data yang terekam.

Pos ketiga adalah Masjid Al-Barokah di Jalan Kondang. Untuk mencapainya, peserta berjalan melalui area permakaman, di mana fasilitator menceritakan peran tanah makam dalam membantu peresapan air hujan. Di dalam masjid, peserta diajak menyimak presentasi sederhana tentang pengelolaan sumber daya air Citarum. Jika pesertanya dari sekolah, gaya penyampaian akan disesuaikan agar mudah dimengerti dan tetap menarik.

Kemudian rombongan berpindah menggunakan mobil menuju pos keempat dan kelima. Pos keempat berada di Bendung Cibangoak, tempat pengambilan air minum, yang sekaligus menjadi titik penting dalam pengendalian air sungai. Pos terakhir adalah Kantor Desa Cikitu, tempat berdirinya alat pengukur curah hujan otomatis bantuan dari PPSDA ITB. Di sini peserta dijelaskan pentingnya data hujan untuk peringatan dini banjir, sekaligus menjadi lokasi penutup kegiatan.

Penutupan kegiatan UBD bukan sekadar formalitas. Di Kantor Desa Cikitu, para siswa diberi ruang untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka hari itu. Dalam sesi sharing yang difasilitasi mahasiswa, mereka mengungkapkan kesan, pertanyaan, bahkan ide. Banyak yang menyebut ini sebagai “pelajaran paling seru” karena langsung menyentuh kehidupan nyata. Dan seperti halnya kegiatan warga Sunda lainnya, acara ditutup dengan botram—makan bersama yang hangat dan akrab. Bukan hanya perut yang kenyang, tapi juga kepala yang lebih paham dan hati yang lebih tergerak.

Merawat Kolaborasi untuk Kesiapsiagaan Bencana

Inisiatif seperti Ulin Bari Diajar dan aktivitas pemantauan banjir oleh Komunitas Siaga Warga Majalaya tidak lahir dari institusi formal atau program nasional. Ia tumbuh dari keresahan, tumbuh dari gotong royong, dan tumbuh dari kebutuhan nyata. Namun seperti semua inisiatif akar rumput lainnya, agar dapat bertahan dan berkembang, kolaborasi lintas pihak perlu dirawat secara konsisten. SWM tidak bisa berjalan sendiri; ITB pun tidak mungkin hadir setiap waktu. Oleh karena itu, keberlanjutan kegiatan ini sangat bergantung pada kemampuan untuk menjaga irisan kolaborasi antara warga, kampus, dan pemerintah.

Hubungan antara warga dan perguruan tinggi, seperti yang dijalankan bersama Institut Teknologi Bandung melalui PPSDA ITB, telah menjadi model yang menginspirasi. Mahasiswa belajar langsung dari warga. Dosen dan peneliti membangun modul dan metode dari kasus nyata di lapangan, serta komunitas memperoleh dukungan keilmuan dalam menjalankan aktivitas edukasi dan kesiapsiagaan.

Namun kolaborasi dengan pemerintah juga sangat strategis. Dalam kerangka sistem kebencanaan nasional, pemerintah, baik melalui BBWS Citarum, BMKG, BPBD, maupun dinas terkait lainnya, memiliki mandat dan sumber daya resmi untuk mengelola air dan mereduksi daya rusak. Karena itu, kegiatan seperti Ulin Bari Diajar harus menjadi jembatan antara upaya masyarakat dan kebijakan negara.

Faktanya, SWM kini menjadi komunitas percontohan yang secara langsung diakui oleh BBWS Citarum. Bahkan, komunitas ini pernah diperkenalkan sebagai bagian dari inisiatif lokal yang inspiratif kepada mitra kerja sama luar negeri seperti Korea International Cooperation Agency (KOICA). Pengakuan ini tidak hanya menjadi bentuk apresiasi, tetapi juga membuka peluang untuk replikasi, pendampingan, dan penguatan kelembagaan komunitas.

Di sisi lain, ITB melalui PPSDA juga terus berupaya menjadikan kawasan Majalaya sebagai “living lab,” yakni sebuah laboratorium hidup untuk studi-studi pengelolaan sumber daya air berbasis masyarakat. Banyak publikasi ilmiah yang telah dihasilkan dari studi di kawasan ini, mulai dari pemodelan banjir, penguatan tebing sungai, aplikasi kecerdasan buatan, hingga strategi adaptasi berbasis partisipasi warga.

Majalaya bukan hanya lokasi terdampak banjir. Ia telah berkembang menjadi ruang belajar bersama. Tempat berbagai aktor untuk saling membentuk dan saling menguatkan. Agar semua ini tidak berhenti sebagai “program sesaat”, maka relasi yang sudah terjalin harus terus dirawat. Perlu ada forum komunikasi reguler, pendanaan yang mendukung, ruang pembelajaran berkelanjutan, dan mekanisme transfer pengetahuan yang menjangkau lintas generasi. Karena pada akhirnya, kesiapsiagaan yang terawat bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa saja yang mampu bekerja bersama paling lama—dengan cara yang menyenangkan.

51

views