Penulis:
Lamona I Bernawis
KK Oseanografi Lingkungan dan Terapan, FITB ITB
Kelompok pengabdian masyarakat dari Institut Teknologi Bandung (ITB), yang terdiri dari staf pengajar dari KK Oseanografi Lingkungan dan Terapan FITB dan KK Anorganik FMIPA, bersama mahasiswa dari Program Studi Oseanografi dan Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) dan Program Studi Kimia KK Kimia Anorganik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), menyelenggarakan pelatihan pemurnian garam dan penambahan iodium di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara pada 21-22 Agustus 2025. Program ini merupakan bagian dari skema Top-Down Tahap 2 tahun 2025 yang berfokus pada teknologi tepat guna. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas garam masyarakat yang dihasilkan di wilayah pesisir.
Kualitas garam yang diproduksi oleh petambak rakyat seringkali belum layak dikonsumsi, yang ditandai dengan warna kusam, rasa yang tidak murni, dan kandungan NaCl di bawah 90%. Garam laut hasil kristalisasi masih mengandung berbagai pengotor seperti tanah liat, lumpur, dan kotoran organik lainnya. Selain itu, terdapat juga pengotor lain seperti magnesium sulfat (MgSO₄), kalsium sulfat (CaSO₄), dan magnesium klorida (MgCl₂) yang menurunkan kemurnian garam dan belum ber-Iodium sehingga membuatnya kurang bernilai jual.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pelatihan ini memperkenalkan metode pemurnian sederhana menggunakan air tua. Air tua adalah larutan jenuh garam (NaCl) dengan densitas minimal 22 °Bé (derajat Baume). Metode ini dikenal sebagai pelarutan selektif, dengan air tua tidak melarutkan kembali garam NaCl, tetapi melarutkan pengotor-pengotor yang ada. Pendekatan ini efektif karena larutan sudah jenuh, sehingga ion pengotor tetap larut dan terbuang saat proses pencucian, sementara garam NaCl tetap stabil. Metode ini juga tidak memerlukan alat yang kompleks dan cocok untuk diterapkan dalam skala kecil.
Proses pelatihan mencakup langkah-langkah praktis, seperti: (1) Pembuatan Air Tua, dengan garam kasar ditimbang (sekitar 300 gram) dan dilarutkan dalam 1 liter air bersih. Larutan kemudian didiamkan hingga bening, dan densitasnya dicek menggunakan Baume meter. (2) Pencucian Garam, dengan garam yang akan dicuci ditimbang (sekitar 500 gram) dan dicuci dengan air tua. Garam kemudian digerus hingga lebih halus dan dicuci kembali dengan air tua. (3) Penambahan Iodium dan Pengeringan, setelah dicuci, garam diletakkan di nampan dan disemprotkan larutan kalium iodat 30 ppm secara merata. Garam kemudian dijemur hingga kering sempurna.
Tim dari Prodi Kimia melakukan eksperimen pemurnian garam, didapatkan hasil pengujian laboratorium menunjukkan peningkatan kualitas yang signifikan. Garam mentah dari Baubau memiliki konsentrasi NaCl sekitar 92% ± 2%, sementara garam yang telah dicuci mencapai 99% ± 1%. Hal ini membuktikan bahwa metode pencucian dengan air tua sangat efektif dalam meningkatkan kemurnian garam, menjadikannya lebih putih, bersih, dan memiliki nilai jual lebih tinggi.
Kegiatan di Baubau tersebut sejalan dengan agenda nasional untuk mewujudkan swasembada garam. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merencanakan strategi peningkatan produksi garam nasional, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional, targetnya adalah mencapai swasembada garam pada tahun 2027. Strategi ini mencakup revitalisasi tambak garam, pembangunan infrastruktur pendukung, dan penerapan teknologi tepat guna.
Proyeksi menunjukkan bahwa untuk mencapai swasembada, produksi garam nasional harus meningkat sekitar 21% setiap tahun hingga mencapai 5,2 juta ton pada tahun 2029. Peningkatan ini juga akan mengurangi volume impor garam secara signifikan, dengan target penurunan 900 ribu ton per tahun dari 2025-2027.
Sebagai bagian dari rencana ini, KKP mengembangkan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Kabupaten Rote Ndao. Kawasan ini akan dioptimalkan dari lahan potensial seluas ± 13.000 hektar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pembangunan K-SIGN akan dilakukan dalam tiga tahap, dan akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kolam penampungan, pengendapan, penguapan, kristalisasi, serta pabrik dan laboratorium. Selain itu, juga akan ada mekanisasi panen dan penggunaan teknologi pemurnian (refinery plant) dan pencucian (washing plant) untuk meningkatkan kualitas garam hingga kadar NaCl di atas 97%. Proyek ini ditargetkan dapat meningkatkan produktivitas hingga 200 ton/hektar per siklus, dengan total produksi mencapai 2,6 juta ton.
Dengan adanya kolaborasi antara akademisi dan pemerintah, seperti yang terlihat dalam pelatihan di Baubau dan rencana pengembangan K-SIGN, diharapkan target swasembada garam nasional dapat tercapai. Peningkatan kualitas garam rakyat tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dengan target pendapatan minimal 2,5 kali UMR.
Tulisan Pendukung
Kota Baubau memiliki tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan garam rakyat. Kondisi topografi pesisir dan minim lahan datar membuat pembangunan tambak garam tradisional sulit dilakukan. Berbeda dengan daerah lain seperti Cirebon, NTT atau Madura yang memiliki bentangan lahan luas untuk kristalisasi. Namun, hal ini bukan berarti potensi garam di Baubau tertutup. Justru, data lapangan menunjukkan bahwa perairan Baubau memiliki salinitas tinggi, mencapai hingga 34 PSU, yang menjadi indikator kualitas air laut yang sangat baik untuk bahan baku garam. Potensi ini dapat dimanfaatkan melalui pendekatan teknologi pemurnian dan metode inovatif yang tidak bergantung pada ketersediaan lahan luas.
Pelatihan yang dilakukan tim ITB menjadi langkah awal penting, karena membuka wawasan masyarakat lokal, khususnya nelayan, tentang cara-cara baru memanfaatkan laut. Nelayan sengaja dilibatkan bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai penggerak perubahan. Selama ini, laut bagi mereka identik dengan sumber ikan dan budidaya rumput laut tetapi melalui pelatihan pemurnian garam, perspektif baru ditanamkan: bahwa air laut juga bisa menjadi sumber mineral dengan nilai ekonomi tinggi. Pengetahuan ini akan memperkuat posisi nelayan sebagai aktor kunci dalam diversifikasi usaha, sehingga tidak hanya bergantung pada hasil tangkapan, tetapi juga memiliki peluang menambah pendapatan dari produk garam berkualitas.
Karena keterbatasan lahan, inovasi menjadi kunci. Alternatif yang dapat dikembangkan misalnya instalasi penguapan berskala kecil yang dapat ditempatkan dekat pesisir. Pendekatan ini memungkinkan produksi garam dilakukan tanpa perlu areal tambak luas, dan lebih sesuai dengan kondisi Baubau. Dengan dukungan riset dari perguruan tinggi serta akses teknologi dari pemerintah daerah, inovasi-inovasi ini bisa diadaptasi sesuai kebutuhan masyarakat. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan nelayan akan memperkuat peran Baubau dalam mendukung swasembada garam nasional, meskipun kontribusinya bukan dalam bentuk produksi massal, melainkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan teknologi tepat guna.
Dengan memanfaatkan potensi air laut yang melimpah dan melibatkan nelayan sebagai mitra utama, Baubau memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa keterbatasan lahan bukanlah penghalang. Justru melalui inovasi, daerah dengan kondisi geografis menantang sekalipun dapat tetap berkontribusi bagi agenda besar kemandirian garam nasional, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisirnya.
Kegiatan ini didukung langsung oleh :
- Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Ketua Tim Kerja Garam nya yang juga merupakan mahasiswa Doktor Sains Kebumian FITB
Di akhir Pelatihan, bahkan masyarakaat peserta meminta langsung ke Dinas Perikanan agar dapat menyelenggarakan kegiatan ini di tingkat desa. Selain itu, antara lain yang dapat dilakukan masyarakatnya segera adalah :
Tim ini merencanakan untuk kembali melakukan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat terkait pergaraman untuk masyarakat di Pulau-pulau 3T dapat digabung dengan desalinasi air laut dan membuat membran penyaring air laut di tambak garam rakyat.