ReSalt House: Inovasi Garam Ramah Lingkungan di Pesisir Cirebon

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung garam dunia, didukung oleh garis pantai terpanjang kedua di dunia dan intensitas sinar matahari yang melimpah. Namun, di tengah capaian produksi nasional yang melampaui 2 juta ton pada tahun 2024, Indonesia masih harus mengimpor ratusan ribu ton garam setiap tahun. Kesenjangan ini bukan hanya masalah kuantitas, tetapi terutama pada isu kualitas dan kemurnian. Sektor industri—seperti pangan, farmasi, dan kimia dasar—membutuhkan garam berkualitas tinggi yang memenuhi standar ketat SNI 8207:2016, menuntut kadar NaCl di atas 97 persen dengan kadar air maksimal 0,5 persen. Metode tradisional seringkali gagal memenuhi standar ketat ini, membuat ketergantungan impor tak terhindarkan. Keterbatasan ini mendorong Pemerintah menargetkan swasembada garam pada tahun 2027, sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 17 Tahun 2025, yang menekankan perlunya penguatan kapasitas produksi dalam negeri yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Upaya mencapai kemandirian ini menuntut inovasi yang tidak hanya berfokus pada pembangunan sentra industri besar di wilayah Nusa Tenggara, tetapi juga pada penguatan kapasitas petani garam tradisional di sentra-sentra produksi seperti pesisir Jawa. Di wilayah Utara Jawa, khususnya Cirebon, tantangan bagi petani garam konvensional semakin berat. Mereka menghadapi dampak krisis iklim yang nyata: banjir rob yang kian sering melanda menggenangi tambak, merusak panen, dan menyebabkan kerugian masif. Bersamaan dengan itu, kawasan pesisir ini terus bergulat dengan masalah lingkungan berupa tumpukan sampah plastik yang menumpuk, menyumbat saluran air, dan memperburuk kondisi pesisir secara keseluruhan. Menghadapi ancaman ganda inilah lahir ide revolusioner: ReSalt House (Recycle Salt House), sebuah fasilitas rumah garam tertutup yang menggabungkan solusi ketahanan produksi dan mitigasi lingkungan. Kegiatan ini didanai oleh Pengabdian Masyarakat Kemendiktisaintek 2025

Gagasan inovatif ini diwujudkan di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, melalui Program Pengabdian Masyarakat yang didanai Kemdiktisaintek Tahun 2025. Fasilitas ini diresmikan pada Minggu, 6 Juli 2025, sebagai contoh nyata kolaborasi multi-pihak yang berhasil antara perguruan tinggi, organisasi sosial, dan komunitas lokal. Kolaborasi ini didasarkan pada pendekatan Participatory Action Research (PAR), yang menempatkan kebutuhan dan partisipasi masyarakat sebagai inti proyek.

Tim Pengabdian Masyarakat dari Program Studi Oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB) dipimpin oleh Dr. Susanna Nurdjaman, S.Si., M.T., yang berperan sebagai inisiator utama. Beliau bekerja sama erat dengan Dr. Ankiq Taofiqurohman, S.Si., M.T., perwakilan dari Universitas Padjadjaran, serta Yayasan Lindungi Ibu Pertiwi dan KUD Mina Jaka Bhakti. Sinergi ini diperkuat oleh kontribusi akademisi ITB lainnya, yaitu Ibu Ivonne M Radjawane, Ph.D., dan Bapak Dr. Saat Mubarok, bersama dengan kontribusi aktif dari mahasiswa Prodi Oseanografi Kampus Cirebon: Hudzaifah, Qonitah Khoirunnisa, Suci Wulandari, Adhi Septian, dan Dimaz Akbar Umaro. Peresmian yang dihadiri oleh Ketua KUD Mina Jaka Bhakti, Bapak Dudi, dan anggota Karang Taruna Desa Bungko Lor, menjadi simbol komitmen bersama untuk masa depan pesisir yang lebih tangguh dan bersih.

Gagasan pembangunan ReSalt House muncul dari kebutuhan mendesak untuk menjaga keberlanjutan produksi garam di tengah dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi timbunan sampah plastik. Botol-botol plastik bekas yang sulit terurai, yang selama ini menjadi polusi di pesisir, dipilih menjadi bahan utama bangunan rumah garam berukuran 4 x 6 meter dengan tinggi 2 hingga 2,5 meter. Proses pembangunannya, yang berlangsung intensif dari 31 Mei hingga 6 Juli 2025, melibatkan partisipasi aktif warga desa yang berhasil menyumbang sekitar 20–30 kilogram botol plastik. Botol-botol ini dibersihkan, disortir berdasarkan ukuran dan merek untuk keseragaman, lalu dirangkai dengan rangka bambu. Bangunan ini dilengkapi plat besi dan geomembran hitam pada dasarnya untuk memaksimalkan penyerapan panas, sehingga proses penguapan air laut dapat berlangsung lebih cepat dan terkontrol, menjamin produksi garam tetap berlangsung optimal tanpa terpengaruh hujan atau ancaman rob musiman. Inilah model inovasi sederhana yang mengubah masalah limbah menjadi aset ketahanan produksi.

SDGs : #SDG9 #SDG12 #SDG13 #SDG14 #SDG17

187

views

01 November 2025