Penulis:
Dr. Nia Kurniasih, M.Hum.
KK Ilmu Kemanusiaan
FSRD ITB
Pekon Way Redak
Dalam tradisi masyarakat Lampung, istilah desa lebih dikenal dengan nama pekon. Penggunaan pekon masih sangat kental untuk daerah non perkotaan. Way Redak merupakan salah satu pekon yang terletak di Krui, ibukota Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung, memiliki topografi khas berupa kombinasi hamparan pantai dan perbukitan rendah yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Profil masyarakatnya mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani kebun, dengan sumber penghasilan musiman yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Belakangan, sektor pariwisata bahari juga mulai digencarkan menjadi mesin perekonomian bagi masyarakat Pekon Way Redak.
Sayangnya, kesempatan tersebut belum termanfaatkan secara maksimal karena keterbatasan infrastruktur penunjang seperti pengolahan air minum di tempat publik yang dapat diakses oleh tidak hanya masyarakat tapi juga pengunjung pariwisata. Oleh karena itu, pemasangan alat filtrasi di Pekon Way Redak menjadi titik krusial, bukan hanya sebagai solusi kebutuhan harian warga, tetapi juga sebagai langkah awal pemanfaatan potensi lokal secara berkelanjutan. Program ini membuka kemungkinan pengembangan desa menjadi pusat edukasi air bersih dan konservasi lingkungan berbasis masyarakat.
Dari sudut pandang geografis dan topografi, Pekon Way Redak bergelut dengan intrusi air laut yang terpapar langsung gelombang dari Samudera Hindia sehingga air bersih siap minum bukan sekadar kebutuhan melainkan soal kelangsungan hidup, kesehatan, dan masa depan. Edukasi gejala alam dalam membangun konstruksi sumberdaya di lingkungan masyarakat sangat penting karena sampai saat ini masyarakat masih mengandalkan sumur dangkal yang kualitas airnya semakin memburuk tanpa tahu harus berbuat apa. Situasi tersebut mengganggu aktivitas harian masyarakat seperti memasak, mandi, dan mencuci. Kelompok usia anak-anak dan lansia menjadi lebih rentan terdampak oleh potensi terjadinya krisis air bersih ini.
Selain tantangan oseanografi, kondisi geologis Way Redak juga turut berpengaruh terhadap keterbatasan sumber daya air. Tanah di daerah ini umumnya berupa campuran pasir pantai dan lempung berpori, yang memiliki daya serap tinggi tetapi tidak mampu menyimpan cadangan air dalam jangka panjang. Di beberapa titik yang berdekatan dengan perbukitan, terdapat sumber mata air yang mengalir secara alami, namun distribusinya belum menjangkau seluruh dusun. Sayangnya, karena belum adanya teknologi penyaringan yang memadai, warga masih mengandalkan air tersebut dalam keadaan mentah. Dengan latar geografis seperti ini, kehadiran teknologi ultrafiltrasi air siap minum menjadi intervensi strategis yang tidak hanya menjawab kondisi alam yang terbatas, tetapi juga mampu beradaptasi dengan pola curah hujan dan karakteristik tanah di Way Redak. Hal ini menjadikan pekon tersebut lokasi ideal untuk percontohan teknologi tepat guna dalam skala komunitas pesisir.
Pendekatan Teknologi Tepat Guna
Merespons situasi tersebut, tim pengabdian masyarakat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama mitra dari Universitas Brawijaya (UB) dan Institut Teknologi Sumatera (Itera) merancang program berjudul:
“Mitigasi Bencana Hidrometeorologi dan Vitalisasi Ekowisata Bahari Bebas Sampah Plastik melalui Ultrafiltrasi Air Bersih Siap Minum.”
Untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh pekon Way Redak, perguruan tinggi sebagai aktor intelektual memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan ilmu dan pengetahuannya di tengah masyarakat. Berdasarkan isu yang disampaikan, diskusi-diskusi terbuka antara mitra masyarakat dengan pihak dosen yang terlibat dan literatur teknologi maka dibuatlah rancangan pemasangan alat filtrasi air yang sesuai dengan karakter sumber air di Pekon Way Redak.
Solusi yang diusung adalah teknologi ultrafiltrasi air siap minum, yaitu alat penyaring air berbasis membran yang mampu menyaring kontaminan, mikroba, dan partikel berbahaya dari air sumur atau sumber lain tanpa bahan kimia tambahan. Kondisi khusus yang disampaikan oleh masyarakat adalah sumber air terindikasi terpapar oleh zat kapur sebagai susunan batuan yang mendominasi daratan di Pesisir Barat khususnya sumber air Pekon Way Redak. Atas laporan tersebut dan setelah hasil analisis, maka tim pengabdian masyarakat memutuskan untuk memberikan modifikasi khusus yaitu penambahan saluran filter resin guna menyaring zat kapur yang terlarut dalam air sebelum masuk ke membran ultrafiltrasi untuk kemudian dapat langsung dikonsumsi masyarakat.
Teknologi ini murah, hemat energi, ramah lingkungan, dan mudah dipasang bahkan di wilayah yang belum terjangkau oleh jaringan air bersih dari pemerintah.
Gambaran Umum Kegiatan Pengabdian Masyarakat
Proses kolaborasi antar perguruan tinggi yang dimotori oleh ITB sudah berlangsung sejak Maret 2025. Langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan data aktual lapangan, kondisi masyarakat, dan keterlibatan stakeholder lokal yang dilakukan di Bulan April. Koordinasi yang dijadwalkan berlangsung cukup panjang ini bertujuan untuk melakukan pendekatan intensif dengan masyarakat, menghindari bias data, dan untuk hasil analisis teknologi yang sesuai.
Kegiatan di lapangan dilaksanakan pada Sabtu, 12 Juli 2025 di Pekon Way Redak, Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Kegiatan ini merupakan wujud nyata dari skema pengabdian masyarakat Bottom-Up ITB yang menekankan solusi berbasis permasalahan lokal.
Acara peluncuran alat ultrafiltrasi dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat dan pemerintahan, di antaranya Peratin Pekon (Kepala Desa) Way Redak Tamzirulloh, tokoh adat, aparat desa, serta pegawai dari Dinas Perikanan Pesisir Barat yang diwakili oleh Arief Mulyawan, MSi.
Dalam sambutannya, Dr. Nia Kurniasih sebagai ketua tim pengabdian masyarakat ITB menyatakan bahwa air bersih siap minum bukan hanya menjawab kebutuhan dasar, tetapi juga merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk mengatasi tantangan perubahan iklim di wilayah pesisir. “Kami berharap alat ini bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Ini bukan sekadar alat, tapi bentuk komitmen kami terhadap hak dasar manusia,” ujarnya.
Sementara itu, Miga Magenika Julian, S.T., M.T., dosen ITB yang juga terlibat, menekankan bahwa krisis air bersih di pesisir merupakan manifestasi nyata dari perubahan iklim. Ia menjelaskan bahwa polusi udara, konversi hutan, dan kenaikan suhu global berdampak pada siklus musim dan cadangan air tanah.
Dari Universitas Brawijaya, Esa Fajar Hidayat, M.Si. menambahkan bahwa Way Redak menjadi desa pertama di Provinsi Lampung yang menerima bantuan alat ultrafiltrasi air siap minum. “Kami memilih Way Redak karena komitmen masyarakat dan pemerintah desanya tinggi. Harapannya ini bisa jadi model yang ditiru oleh desa-desa lain di sepanjang pesisir Lampung,” ujarnya.
Dr Nirmawana Simarmata dari Teknik Geomatika Itera memberi pernyataan bahwa dari tinjauan analisis spasial, Desa Way Redak membutuhkan teknologi yang tepat untuk permasalahan air bersih karena secara geolokasi berada di kawasan pesisir dengan karakter batuan berkapur.
Manfaat Tambahan: Menekan Sampah Plastik
Kegiatan ini bukan hanya bicara tentang air bersih, tetapi juga berdampak besar dalam mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan plastik. Dengan adanya fasilitas Water Refill Station, para wisatawan yang berkunjung ke kawasan bahari kini bisa mengisi ulang air minum tanpa harus membeli botol plastik baru. Upaya ini sejalan dengan kampanye “Bebas Sampah Botol Plastik Sekali Pakai” yang kini menjadi perhatian nasional dan global.
Berdasarkan survei mini yang dilakukan oleh tim mahasiswa di lokasi, 72% warga setuju bahwa adanya alat ini mengurangi kebiasaan membeli air kemasan dan meningkatkan kesadaran lingkungan. Bahkan beberapa rumah tangga sudah mulai menyediakan botol isi ulang di rumah untuk mengurangi pengeluaran air minum harian.
Peratin Way Redak, Tamzirulloh, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada tim ITB atas bantuan tersebut. Ia berharap kolaborasi ini bisa terus berlanjut dan berkembang ke sektor lain seperti pengolahan sampah menjadi bahan bernilai ekonomi, sehingga desa tidak hanya bebas dari kekurangan air, tetapi juga dari masalah lingkungan lainnya.
Arief Mulyawan, MSi dari perwakilan Dinas Perikanan Kabupaten Pesisir Barat menyampaikan apresiasinya kepada tim pengabdian masyarakat karena telah memberikan perhatiannya kepada pekon Way Redak meskipun lokasinya jauh dan akses transportasinya sulit. “Ini adalah hal luar biasa, kami tidak menyangka ada perhatian untuk kami dari perguruan tinggi yang sangat jauh seperti ITB dan UB yang mau datang kemari dan membawa teknologi. Apalagi jalan kesini melewati medan sulit dan waktu yang panjang dari kota”, imbuhnya.
Harapan Masyarakat
Alat ultrafiltrasi dipasang di area masjid besar Riyadhus Shalihin atas kesepakatan bersama antara pemangku kebijakan adat, otoritas pemerintahan, dewan kesejahteraan masjid (DKM) dan tim pengabdian masyarakat. Lokasi dianggap strategis karena berada di tengah-tengah permukiman masyarakat dan tujuan wisata sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum maupun wisatawan.
Selama proses pemasangan dan sosialisasi alat, masyarakat turut aktif terlibat. Termasuk diantaranya pejabat dinas daerah, kelompok pemuda, dan anggota DKM mengikuti pelatihan singkat tentang cara pemeliharaan dan penggunaan alat ultrafiltrasi. Hal ini penting agar kebermanfaatan alat bisa berlangsung jangka panjang dan mandiri.
Kegiatan ini juga menjadi wahana edukasi perubahan iklim, sanitasi, dan konservasi lingkungan hidup. Literasi masyarakat tentang air dan sampah meningkat, bahkan membuka peluang keterlibatan generasi muda dalam pelestarian lingkungan berbasis teknologi tepat guna.
Tim mahasiswa yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti Teknik Lingkungan (Sarah Kristina) dan Teknik Geodesi dan Geomatika (Nur Fadilah dan Aisyah Fitria) juga berkontribusi besar dalam menyampaikan edukasi publik, termasuk membuat modul sederhana dan poster edukatif tentang pemanfaatan air bersih dan pengurangan sampah botol plastik.
Keberlanjutan Program
Kegiatan di Way Redak menjadi bagian dari roadmap pengabdian masyarakat ITB yang dimulai sejak 2024 dan ditargetkan berlanjut hingga 2026. Visi jangka panjangnya adalah menjadikan Pesisir Barat sebagai kawasan wisata bahari berkelanjutan berbasis teknologi dan komunitas sadar lingkungan.
Strategi keberlanjutan program ini melibatkan pelatihan kader lokal sebagai “penjaga air bersih”, yang bertugas memonitor kondisi alat dan menjadi narahubung bagi keluhan masyarakat. Selain itu, sistem dokumentasi pelaporan bulanan dari desa ke tim ITB di Bandung diharapkan dapat memastikan pemeliharaan berjalan baik.
Untuk memperluas manfaat, tim pengabdian juga tengah menjajaki kerjasama dengan pelaku industri lokal dan lembaga non-pemerintah agar sistem filtrasi air ini dapat diproduksi massal dan didistribusikan dengan harga terjangkau di wilayah-wilayah rawan air bersih di Kabupaten Pesisir Barat yang hingga kini statusnya masih 3T. Sebagai catatan, saat sosialisasi, kegiatan tim pengabdian juga mendapat kunjungan dari perwakilan desa lain yang menyampaikan permasalahan seputar kesediaan air bersih dengan kondisi ekstrim masing-masing. Diantaranya seperti sumber air debit kecil, sumber air yang diduga terkontaminasi bakteri, hingga sumber air yang diduga terpapar zat sulfur. Situasi tersebut membuat tim berkomitmen untuk bersinergi dua arah antara perguruan tinggi dengan otoritas desa yaitu harapan dalam menyediakan air bersih layak sebagai hak hidup masyarakat pedesaan bahkan yang terpencil.
Sebagai tambahan, tim juga berencana mengembangkan inovasi teknologi tambahan berupa solar panel yang dapat menyuplai energi bersih ke alat ultrafiltrasi secara mandiri. Langkah ini diharapkan membuat sistem penyediaan air siap minum semakin berkelanjutan tanpa tergantung kepada listrik konvensional.
Di akhir kegiatan, tim pengabdian menyerahkan secara simbolis unit ultrafiltrasi dan panduan penggunaan kepada perwakilan desa dan Dinas Perikanan. Tim berharap alat ini tidak hanya bermanfaat di hari ini, tetapi menjadi titik awal gerakan masyarakat sadar air dan sadar iklim di seluruh pesisir Lampung.
Seperti yang dikatakan Dr. Nia di akhir acara, “Setetes air bersih di Way Redak hari ini bisa jadi gelombang perubahan bagi masa depan lingkungan pesisir Indonesia.”